Pengurangan pidana tersebut menimbulkan pro dan kontra dan ada dugaan Kejaksaan agung ikut "bermain" dalam penentuan vonis tersebut. Terkait tudingan itu, Guru Besar Hukum Pidana Korupsi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Prof. Nur Basuki Minarno menyayangkan. Menurutnya, tudingan itu tidak berdasar dan tidak beralasan hukum.
"Berat ringannya putusan itu wewenang hakim sepenuhnya dan yang mempunyai hak atau kepentingan terhadap putusan tersebut adalah Pinangki secara pribadi," ungkapnya.
BACA JUGA : Hari Bhakti Adhyaksa 61, Kejaksaan Bagikan 20.400 Paket Sembako
Prof Basuki menjelaskan jika dicermati tidak ada kejanggalan dalam proses persidangan itu. Jaksa penuntut umum (JPU) mengajukan tuntutan pidana 4 tahun, tetapi oleh Majelis Hakim diputus pidana penjara 10 tahun. Tentu posisi ini jaksa tidak akan mengajukan banding.
"Bagaimana dengan Pinangki? tentu Pinangki sebagai terdakwa keberatan atas keputusan tersebut sehingga mengajukan banding dan itu sah-sah saja," imbuhnya.
Lalu terkait putusan banding itu, mengapa JPU tidak mengajukan kasasi?. Prof Basuki kembali menjelaskan jika putusan hakim kurang dari 2/3 tuntutannya, maka jaksa penuntut umum akan mengajukan upaya hukum. Sedangkan dalam perkara Pinangki putusan pidana pada pengadilan banding sama jumlahnya dengan tuntutan jaksa.
"Sehingga tidak logis dan tidak beralasan untuk mengajukan upaya hukum kasasi. Selain itu, alasan untuk mengajukan kasasi syaratnya telah ditentukan secara limitatif sebagaimana Pasal 253 KUHAP," tandasnya.
Disinggung mengenai tuntutan itu tak memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat, prof Basuki menyebut bicara keadilan tidak ada batasan yang jelas dan ini selalu menjadi diskursus yang tidak berujung.
"Menurut saya dengan pidana 4 (tahun), bukanlah pidana yang ringan. Tentunya jaksa mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu sampai pada kesimpulan untuk menuntut pidananya 4 tahun penjara," imbuhnya.
Di tengah pro dan kontra, Prof Basuki tetap mengapresiasi atas kinerja aparat penegak hukum dalam penanganan kasus korupsi besar, khususnya Kejaksaan Agung. Misal, pengungkapan kasus mega korupsi PT Jiwasraya, PT Asabri dan lainnya. Menurutnya, pengungkapan itu sangat luar biasa dan kompleks, berbeda dengan penanganan kasus korupsi karena OTT (operasi tangkap tangan) yang relatif sangat mudah pembuktian.
"Saya sebagai akademisi memberikan acungan jempol kepada aparat kejaksaan dalam mengungkap 2 kasus besar itu," pungkasnya.
(ADI)