Kemenkumham Perketat Remisi Napi Korupsi

Ilustrasi / Medcom.id Ilustrasi / Medcom.id

JAKARTA : Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 7 tahun 2022. Aturan baru ini sebagai buntut putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan PP 99/2012 atau yang lazim dikenal PP pengetatan remisi koruptor. Dalam aturan tersebut, bagi koruptor yang mau mendapatkan pembebasan bersyarat, wajib mensyaratkan si koruptor harus sudah membayar denda dan uang pengganti.

“Dalam Permenkumham ini mempersyaratkan terpidana untuk membayar lunas denda dan uang pengganti bagi narapidana kasus korupsi untuk mendapatkan hak remisi maupun integrasi (pembebasan bersyarat, cuti bersyarat dan cuti menjelang bebas),” kata Kabag Humas dan Protokol Ditjen Pemasyarakatan, Rika Aprianti.

Rika mengatakan dalam pembahasan penyusunan dan penyelarasan perubahan Permenkumham ini, Kementerian/Lembaga terkait menyetujui dan mendukung rancangan perubahan dengan beberapa pengetatan untuk tindak pidana tertentu yang merupakan jenis tindak pidana luar biasa. Namun dengan tetap memperhatikan bahwa pengetatan tersebut tidak boleh membatasi hak-hak narapidana.

“Penghilangan syarat Justice Collabolator dalam putusan MA menjadikan hal tersebut sebagai syarat pemberian hak, namun sebagai reward sesuai dengan UU Nomor 31 Tahun 2014,” kata Rika.

Baca Juga : Erick Thohir akan Ciptakan Market Pengembangan Produk Dalam Negeri

Menurut Rika, Permenkumham Nomor 7/2022 tidak menghilangkan syarat-syarat khusus dalam pemberian hak narapidana sesuai dengan PP 99 tahun 2012. Misalnya pemberian hak bagi narapidana terorisme tetap mempersyaratkan bahwa harus telah menyatakan ikrar kesetiaan kepada Republik Indonesia serta telah mengikuti dengan baik program deradikalisasi.

“Dalam Permenkumham ini mempersyaratkan untuk membayar lunas denda dan uang pengganti bagi narapidana kasus korupsi untuk mendapatkan hak remisi maupun integrasi,” tegas Rika.

Reformulasi remisi alasan kemanusiaan diberikan berdasarkan atas satu kategori dan pengaturan kembali tentang remisi tambahan. Reformulasi terhadap usulan remisi yang terlambat karena syarat dan dokumen belum terpenuhi pada periode penyerahan remisi baik umum ataupun khusus keagamaan dengan menyisipkan pasal 27A dengan besaran Remisi pertama sejak diusulkan sesuai dengan pasal 4 Kepres 174 tahun 1999 yaitu :

– Sebesar 1 bulan bagi narapidana yang menjalani pidanananya 6 sampai dengan 12 bulan
– Sebesar 2 bulan bagi narapidana yang menjalani pidananya 12 bulan atau lebih

“Diharapkan Permenkumham yang diterbitkan ini dapat dijadikan sebagai regulasi yang mengatur pemenuhan hak warga Binaan pasca dikabulkannya sebagian gugatan atas beberapa pasal yang termuat dalam PP 99 Tahun 2012 melalui keputusan Mahkamah Agung no 28 P/HUM/2021,” pungkas Rika.

 


(ADI)

Berita Terkait