SURABAYA: Putusan banding terdakwa Pinangki mendapatkan sorotan masyarakat. Bahkan ada tudingan Kejagung 'bermain' dalam putusan empat tahun penjara kepada mantan pegawai jaksa agung itu.
Sebelumnya, Pinangki dituntut oleh jaksa penuntut umum selama 4 tahun, namun diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 10 tahun penjara. Kemudian saat banding pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta divonis lebih ringan 4 tahun penjara.
Pengurangan pidana tersebut menimbulkan pro dan kontra. Termasuk adanya tudingan Kejaksaan Agung ikut bermain dalam penentuan vonis tersebut. Terkait tudingan itu, Guru Besar Hukum Pidana Korupsi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Prof. Nur Basuki Minarno mengatakan tidak berdasar atau tidak beralasan hukum.
"Berat ringannya putusan itu wewenang hakim sepenuhnya dan yang mempunyai hak/kepentingan terhadap putusan tersebut adalah Pinangki secara pribadi," ungkapnya.
Basuki menjelaskan jika dicermati tidak ada kejanggalan dalam proses persidangan itu. Jaksa mengajukan tuntutan pidana 4 tahun, tetapi oleh Majelis Hakim diputus pidana penjara 10 tahun. Tentu posisi ini jaksa tidak akan mengajukan banding.
"Bagaimana dengan Pinangki? tentu Pinangki sebagai Terdakwa keberatan atas keputusan tersebut sehingga Pinangki mengajukan banding," imbuhnya.
BACA: Tersangka Korupsi Rumah Sakit Paru di Madiun Ditahan
Lalu terkait putusan banding itu, mengapa jaksa penutuntut umum tidak mengajukan kasasi? Prof Basuki kembali menjelaskan jika putusan hakim kurang dari 2/3 tuntutannya, maka jaksa penuntut umum akan mengajukan upaya hukum. Sedangkan dalam perkara Pinangki putusan pidana pada Pengadilan Banding sama jumlahnya dengan tuntutan jaksa.
"Sehingga tidak logis dan tidak beralasan untuk mengajukan upaya hukum kasasi dan lagi alasan untuk mengajukan kasasi syaratnya telah ditentukan secara limitatif sebagaimana Pasal 253 KUHAP," tandasnya.
Lalu, disinggung menganai tuntutan itu tak memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat, Prof Basuki menyebut bicara keadilan tidak ada batasan yang jelas dan ini selalu menjadi diskursus yang tidak berujung.
"Menurut saya dengan pidana 4 (tahun), bukanlah pidana yang ringan. Tentunya jaksa penuntut umum mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu sampai pada kesimpulan untuk menuntut pidananya 4 tahun penjara," imbuh Basuki.
Di tengah pro dan kontra, Prof Basuki mengapresiasi atas kinerja aparat penegak hukum dalam penanganan kasus kasus korupsi besar, khususnya Kejaksaan Agung. Pengungkapan kasus mega korupsi PT Jiwasraya, PT Asabri dan lain-lain ini menurut saya pekerjaan yang sangat luar biasa dan kompleks, berbeda dengan penanganan kasus korupsi karena OTT yang relatif sangat mudah pembuktian.
"Saya sebagai akademisi memberikan acungan jempol kepada aparat kejaksaan dalam mengungkap 2 kasus besar itu," pungkasnya.
(TOM)