JAKARTA : Pada 5 Oktober 2020 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) mengesahkan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja melalu sidang paripurna. Namun, aturan tersebut menimbulkan banyak penolakan dari berbagai elemen di dalam negeri, khususnya dari buruh atau pekerja. Lalu apa kata negara lain mengenai Omnibus Law di Indonesia?
Duta Besar Republik Indonesia untuk Singapura Suryopratomo menyampaikan bahwa negara luar menganggap Omnibus Law sebagai sesuatu yang memang dibutuhkan oleh Indonesia. Sebab, menurut pengalaman mereka ketika berbisnis di Indonesia, prosesnya berbelit-belit dan sulit.
“Sebetulnya sudah dikonfirmasi dari hasil survei yang dilakukan Bank Dunia bahwa posisi kompetitif index Indonesia itu kan jauh di bawah. Persoalannya itu adalah pada regulasi,” kata Suryopratomo yang biasa dipanggil Tommy dalam diskusi virtual Newsmaker Medcom.id yang bertajuk “Indonesia – Singapura; Diplomasi Ekonomi di Tengah Pandemi“ pada Sabtu, 31 Oktober 2020.
Ia menjelaskan, deregulasi bukan pertama kali dilakukan pada pemerintahan Presiden Jokowi, tetapi sudah ada sejak zaman Presiden Soeharto. Alasan Soeharto melakukan deregulasi kala itu adalah banyaknya aturan yang menjerat Indonesia sendiri. Sehingga upaya yang diperlukan untuk mempermudah usaha sudah dilakukan sejak zaman orde baru.
“Tetapi kemudian kan tidak pernah berhasil. Baru kali ini, 79 Undang-Undang (UU) dibuat menjadi satu,” ucap Tommy.
Kemudian, jurnalis senior itu menyatakan justru yang menjadi persoalan ada di dalam negeri. Karena masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam pembahasan Omnibus Law maka terjadilah pertentangan dan penolakan. Hal inilah yang membuat negara luar jadi bertanya-tanya. Oleh karena itu, dalam pertemuan working group bersama Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Singapura memohon agar pihak Indonesia bisa memberikan penjelasan mengenai apa itu Omnibus Law.
“Supaya kemudian kalangan dunia usaha Singapura tahu kemudahan-kemudahan apa yang ada di dalamnya (Omnibus Law), yang menguntungkan mereka sebagai pengusaha melihat peluang yang baik untuk investasi di Indonesia,” lanjutnya.
Lalu, ia memaparkan, permasalahannya adalah masyarakat melihat Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja ini tidak memberikan manfaat. Padahal, menurutnya, UU tersebut ditujukan untuk kebaikan dan kemaslatan masyarakat Indonesia. Sebab, diharapkan melalui UU tersebut investasi akan berdatangan sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan dan menekan angka pengangguran serta kemiskinan.
“Itu sebetulnya pikiran besar yang ada di balik undang-undang itu (omnibus law), tetapi karena kita tidak pernah mau melihat komprehensif, sekali lagi muncul apriori. Nah sekarang ini terjadi resistensi yang akibatnya adalah orang luar bertanya ‘lho kok ada undang-undang bagus dan Indonesia mau membuka pintu investasi tapi kok tiba-tiba Indonesia sendiri menolak’,” jelas Tommy.
(ADI)