JAKARTA: Gunung Semeru meluapkan lahar dan awan panas guguran (APG) pada Sabtu, 4 Desember 2021. Hingga kini, masih banyak yang bertanya-tanya kenapa erupsi itu tidak terdeksi lebih awal hingga memakan 14 korban jiwa dan ratusan warga terluka
Sejumlah ahli pun mengungkap penyebab Gunung Semeru mengalami erupsi. Letusan Gunung Semeru umumnya bertipe vulkanian dan strombolian, berupa penghancuran kubah atau lidah lava, serta pembentukkan kubah lava atau lidah lava baru.
Menurut Koordinator Kelompok Mitigasi Gunung Api Badan Geologi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kristianto, awan panas guguran Gunung Semeru diakibatkan endapan lidah lava yang tidak stabil.
"Pengamatan visual menunjukkan pemunculan guguran dan awan panas guguran diakibatkan oleh ketidakstabilan endapan lidah lava," ucap Kristianto dikutip dari Antara, Minggu, 5 Desember 2021.
Menurut dia, aktivitas pada 1-4 Desember terjadi di permukaan atau erupsi sekunder. Sementara itu, aktivitas gempa tak menunjukkan kenaikan jumlah dan jenis gempa yang berasosiasi dengan suplai magma atau batuan segar ke permukaan.
"Jumlah dan jenis gempa yang terekam selama 1 hingga 30 November 2021 didominasi oleh gempa-gempa permukaan berupa gempa letusan dengan rata-rata 50 kejadian per hari," kata Kristianto.
Curah Hujan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut erupsi gunung setinggi 3.676 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu disebabkan faktor eksternal. Seperti curah hujan tinggi yang memicu bibir lava runtuh, sehingga terjadi erupsi.
"Kelihatannya memang ada kaitan dengan curah hujan tinggi, sehingga menyebabkan runtuhnya bibir lava itu, dan memicu adanya erupsi atau guguran awan panas," kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono.
Menurutnya, aktivitas suplai magma dan material sepanjang November dan 1-3 Desember tidak mengalami perubahan signifikan. Catatan kegempaan juga dikatakan relatif rendah.
"Aktivitas Gunung Semeru ini sebetulnya tidak ada aktivitas yang berlebihan dari kegempaan yang memperlihatkan adanya suplai magma itu realtif biasa saja seperti sebelum-sebelumnya," ungkap Eko.
(TOM)