SURABAYA : Aktor Hollywood, Bruce Willis memutuskan untuk mengakhiri karier di dunia hiburan akibat penyakit afasia yang dideritanya. Penyakit afasia diketahui memengaruhi kemampuan aktor kelahiran 19 Maret 1955 itu untuk berkomunikasi dengan baik. Kabar pensiunnya Bruce Willis itu pun menjadi perbincangan dunia.
Keputusan yang diambil Bruce Willis dan keluarga dianggap luar biasa karena memprioritaskan kesehatan. Lalu apa itu Afasia?, seorang Profesor Klinis di Ohio State University sekaligus direktur OSU Aphasia Initiative, Prof Jennifer Brello menjelaskan afasia adalah gangguan bahasa yang dihasilkan dari kerusakan pada belahan otak kiri.
"Gangguan tersebut dapat menyebabkan kesulitan menggunakan kata atau kalimat, memahami bahasa, membaca, dan menulis," ungkap Prof Brello seperti dikutip Yahoo Life, Kamis 31 Maret 2022.
Afasia bisa terjadi dalam stasiun ringan hingga berat. Menurut National Aphasia Association (NAA), masalah kognitif ini dapat memengaruhi terutama satu aspek penggunaan bahasa, seperti kemampuan mengenali nama objek atau kemampuan untuk menggabungkan kata-kata menjadi kalimat, atau kemampuan membaca.
Baca juga : Mengenal Alopecia, Penyakit yang Membuat Istri Will Smith Botak
"Secara umum, orang yang mengalami afasia itu aspek komunikasinya terganggu, sementara itu beberapa kemampuan tetap ada sekalipun terbatas," ungkap NAA.
Dalam mengenali seseorang menderita afasia atau tidak, terdapat 3 poin penting yang bisa dilihat. Pertama, apakah seseorang dapat berbicara dengan mudah atau dengan banyak usaha. Kemudian, yang kedua, apakah orang tersebut memiliki kemampuan menulis yang baik. Dan ketiga atau yang terakhir, apakah orang tersebut bisa mengulang kata atau frasa dengan baik.
Selanjutnya, mengapa gangguan afasia ini dianggap cukup serius? Menurut Prof Brello, gangguan ini cukup bisa membatasi kemampuan seseorang dalam bersosialisasi dengan keluarga, teman, rekan kerja, ataupun memengaruhinya di lingkungan sosial.
"Orang yang hidup dengan afasia juga lebih mungkin mengalami isolasi sosial yang menyebabkannya mudah depresi dan mengurangi kepuasan hidup," terang Prof Brello.
(ADI)