Pengajuan PK Tak Seharunya Dibatasi, Begini Penjelasan Pakar Hukum

Pakar Hukum sekaligus Rektor Universitas Dr. Soetomo Surabaya, Dr. Siti Marwiyah saat menyikapi pembatasan PK (Foto / Metro TV) Pakar Hukum sekaligus Rektor Universitas Dr. Soetomo Surabaya, Dr. Siti Marwiyah saat menyikapi pembatasan PK (Foto / Metro TV)

SURABAYA : Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 34/PUU-XI/2013 menyatakan pengajuan peninjauan kembali (PK) pada perkara pidana tidak seharusnya dibatasi jumlah pengajuannya. Hal ini dilakukan agar terpidana memperoleh hak atau keadilan yang mungkin dinilai terjadi kesalahan. Putusan ini pun direspon sejumlah pakar hukum.

Pakar Hukum sekaligus Rektor Universitas Dr. Soetomo Surabaya, Dr. Siti Marwiyah menilai melalui putusan ini, MK menyatakan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang menguraikan permintaan PK hanya dapat dilakukan satu kali saja tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

"Artinya pengajukan PK memang tak seharusnya dibatasi," kata Siti Marwiyah dalam diskusi bersama Nusakom Pratama Institue bekerjasama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Jawa Timur, Sabtu 11 Juni 2022.  

Menurutnya, masyarakat bisa memanfaatkan PK untuk mendapat keadilan hukum akibat kesalahan putusan di Mahkamah Agung (MA). MK sebagai lembaga negara baru produk reformasi menjadi tumpuan ekspektasi masyarakat yang menginginkan perbaikan dalam penegakan hukum.

Baca juga : Korban dan Selingkuhan Oknum Anggota DPRD Surabaya Berdamai

"Unsur politik seringkali memengaruhi sistem peradilan di Indonesia sehingga beberapa putusan menjadi tidak adil sehingga diperlukan upaya hukum yang memenuhi unsur keadilan. Nah salah satunya pengajuan PK ini," tandasnya.

Senada dengan Siti Marwiyah, Pakar Hukum Unair Amira Paripurna menyebut bahwa PK seharusnya tidak perlu dibatasi karena dalam beberapa kasus hukum pidana yang terjadi di seluruh dunia, sering terjadi kesalahan atau error dalam sistem peradilan hukum di seluruh dunia.

Alumnus University of Washington School of Law Amerika Serikat ini menambahkan, di Belanda yang menjadi 'kiblat' hukum Indonesia, proses PK tidak dibatasi dengan catatan ditemukan novum atau bukti baru yang bisa diajukan dalam persidangan. Dalam Komite Pembaharuan KUHP memandang pengajuan PK lebih dari satu kali merupakan langkah tepat karena sejalan dengan alasan keadilan dan perlindungan HAM.

"Menurut saya sebaiknya PK ini memang tidak perlu dibatasi dengan alasan setiap tersangka perlu mendapat keadilan seadil-adilnya. Catatannya adalah dibuat kriteria novum dalam perkara tersebut," paparnya.

Kemudian, Moderator diskusi yang juga menjabat sebagai Direktur Nusakom Pratama Institute, Ari Junaedi sempat menyinggung banyaknya pencari keadilan gagal menggapai keadilan yang hakiki meski memiliki fakta baru (novum) lantaran harus kandas dengan aturan yang membelenggu. Termasuk di dalamnya ada unsur kepentingan politik dalam pembatasan upaya PK.

"Kasus-kasus yang menyita perhatian publik karena kontroversi pembatasan PK di antaranya kasus kopi sianida Jessica, kasus pengambilalihan lahan penduduk oleh perusahaan di Surabaya serta rekayasa kasus yang menjerat mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam," terangnya.

Menurutnya, PK merupakan salah satu bagian dari upaya hukum luar biasa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pada esensinya, PK merupakan sarana bagi terpidana atau ahli warisnya untuk memperoleh keadilan dan melindungi kepentingan terpidana.

 


(ADI)

Berita Terkait