SURABAYA : Penelitian terbaru mengungkap satu dari lima spesies reptil terancam punah, termasuk lebih dari setengah penyu dan buaya. Kehidupan makhluk berdarah dingin ini berada di ujung tanduk karena perubahan iklim Bumi yang semakin ekstrem.
Dilansir dari Science Alert, Selasa 3 Mei 2022, dalam jurnal Nature, para peneliti meriset 10.196 spesies reptil dan mengevaluasinya menggunakan kriteria dari Daftar Merah spesies terancam dari International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Dalam penelitian itu, mereka menemukan setidaknya 1.829 (21 persen) spesies rentan, terancam punah, atau sangat terancam punah. Neil Cox, yang mengelola Unit Penilaian IUCN dan ikut memimpin penelitian menyebut ini sudah melebihi jumlah spesies yang terancam.
"Sekarang kita tahu ancaman yang dihadapi setiap spesies reptil, komunitas global dapat mengambil langkah berikutnya dan berinvestasi dalam membalikkan krisis keanekaragaman hayati yang kurang dihargai dan semakin parah," katanya.
Dia mengungkapkan buaya dan penyu ditemukan di antara spesies yang paling berisiko, dengan masing-masinya sekitar 58 persn dan 50 persen dari label kepunahan yang diperkirakan saat ini. Cox mengatakan ini juga tak lepas dari eksploitasi berlebihan dan perburuan. Buaya dibunuh untuk diambil dagingnya dan dianiaya karena masuk ke pemukiman warga.
Baca juga : Menikmati Blue Fire di Kawah Ijen Banyuwangi
Sementara penyu menjadi sasaran perdagangan hewan peliharaan dan dagingnya kerap digunakan sebagai bahan utama pengobatan tradisional. Spesies terkenal lainnya yang berisiko mengalami kepunahan adalah king cobra yang merupakan ular paling berbisa di dunia. King cobra diklasifikasikan sebagai rentan dan menunjukkan ular yang satu ini sangat dekat dengan kepunahan.
Bruce Young, kepala zoologi di NatureServe, yang ikut memimpin penelitian, mengatakan reptil yang terancam sebagian besar ditemukan terkonsentrasi di Asia Tenggara, Afrika Barat, Madagaskar utara, Andes Utara, dan Karibia.
Perubahan iklim ditemukan menimbulkan ancaman langsung bagi sekitar 10 persen spesies reptil, meskipun para peneliti mengatakan kemungkinan itu terlalu rendah karena tidak memperhitungkan ancaman jangka panjang seperti kenaikan permukaan laut, atau bahaya tidak langsung yang didorong iklim dari hal-hal seperti penyakit.
Para peneliti pun terkejut menemukan konservasi yang ditujukan untuk mamalia, burung, dan amfibi juga bermanfaat bagi reptil, meskipun mereka menekankan penelitian tersebut menyoroti perlunya konservasi mendesak khusus untuk beberapa spesies.
Young mengatakan penilaian reptil, yang melibatkan ratusan ilmuwan dari seluruh dunia, membutuhkan waktu sekitar 15 tahun untuk diselesaikan karena kurangnya dana. Dia berharap penelitian dapat membantu memacu dunia internasional untuk menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati.
(ADI)